Suku Tengger: Permata Indonesia, Penjaga Kearifan Lokal dan Cerminan Bangsa Indonesia yang Luhur
Oleh: Hikmatus
Sabilil Izzah
Mahasiswi Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Pendahuluan
Suku Tengger adalah suku yang mendiami
kawasan Gunung Bromo dan tersebar diempat kecamatan di Jawa Timur yakni:
Pasuruan, Lumajang, Probolinggo dan Malang. Suku Tengger merupakan permata
Indonesia, kaya akan pusaka alam dan kaya akan pusaka budaya yang tak pantas
untuk dilupakan. Hingga kini masyarakat tengger masih memegang teguh warisan
budaya yang luhur walaupun pengaruh globalisasi kian meradang.
Dari
namanya asal-usul kata tengger berasal gabungan dua kata, yaitu teng dan ger.
Keduanya merupakan akhiran kata dari dua nama, yaitu Roro An-teng dan Joko Se-ger. Hal itu
terkait Legenda Roro Anteng dan Joko Seger. Menurut penuturan masyarakat
setempat, diyakini bahwa mereka adalah keturunan Roro Anteng, yaitu seorang
putri dari raja Majapahit dan Joko Seger, yaitu putera seorang brahmana. Asal
mula nama suku Tengger diambil dari nama belakang Rara Anteng dan Jaka Seger. Keduanya
membangun pemukiman dan memerintah di kawasan Tengger ini kemudian menamakannya
sebagai Purbowasesa
Mangkurat Ing Tengger atau
artinya “Penguasa Tengger yang Budiman”.
Suku Tengger di Gunung Bromo rutin
mengadakan beberapa upacara adat dan yang terbesar adalah Hari Raya Yadnya
Kasada atau Upacara Kasodo. Saat perayaan hari besar suku Tengger ini Gunung
Bromo bukan hanya dikunjungi umat Hindu Tengger dari berbagai penjuru Taman Nasional Bromo Tengger Semeru tetapi umat Hindu dari Bali
yang merasa mereka adalah keturunan dari Kerajaan Majapahit. Tidak hanya itu,
saat upacara ini berlangsung, Pura Luhur Poten Bromo yang berada di antara
Gunung Batok dan Gunung Bromo akan dikunjungi oleh banyak wisatawan dari
berbagai negara dan penjuru Tanah Air.
Selain upacara Yadnya Kasada, ada juga Hari Raya Karo dan
Unan-Unan. Berhubungan dengan siklus kehidupan warga suku Tengger juga diadakan
ritual adat yaitu: saat kelahiran (upacara sayut, cuplak
puser, tugel kuncung), menikah (upacarawalagara),
kematian (entas-entas, dan lainnya), upacara adat berhubungan siklus
pertanian, mendirikan rumah, dan juga terkait adanya gejala alam seperti leliwet dan barikan.
Makalah ini ditulis dengan tujuan
membuka tabir kehidupan masyarakat suku Tengger dikaitkan dengan kearifan lokal
serta mulitikulturalisme dan keberagaman agama yang ada di sekitarnya.
Hubungan Kearifan Lokal dengan Kehidupan Bermasyarakat Suku
Tengger
Sebagaimana suatu masyarakat yang
berpegang teguh pada warisan budaya leluhurnya, suku Tengger adalah
cerminannya. Suku Tengger masih kental dengan nafas tradisi budaya yang luhur
yang sampai kini masih terjaga dengan baik di tengah kondisi globalisasi yang
mengancam budaya bangsa.
Salah satu bentuk kearifan lokal
suku Tengger yang dipatuhi hingga kini adalah tradisi patuh terhadap empat
guru, atau Guru Papat yakni: 1) Guru sing Kuwasa (Tuhan Yang Maha
Kuasa), 2) Guru Wong Tuwa (Kedua
orang tua yang mengasuh dan membesarkan”, 3) Guru Pemerintah (Penguasa negara yang memberikan perlindungan
hokum), 4) Guru Ngaji atau Guru Pasinaon (Orang berilmu yang
mengajarkan ilmu pengetahuan). Apabila seseorang patuh dan taat (bekti) kepada
empat guru ini, maka dipercaya orang tersebut akan hidup nyaman, tenteram,
damai dan sejahtera. Namun sebaliknya, jika tidak patuh niscaya hidupnya akan
sengsara.
Dalam tradisi suku Tengger,
kepatuhan dan ketaatan pertama harus ditujukan kepada Guru Sing Kuwasa, yakni
Tuhan Yang Maha Kuasa pencipta semesta alam beserta seluruh isinya. Guru Sing
Kuwasa, tempat berlindung dan memohon. Upacara-upacara keagamaan yang rutin
digelar masyarakat suku Tengger adalah salah satu bukti nyata ketaatan terhadap
Guru Sing Kuwasa. Suku Tengger selalu taat demi terwujudnya keselarasan antara
dirinya dengan Yang Maha Agung, para dewa, roh-roh halus, dan roh-roh leluhur
mereka yang bersemayam di sekitar mereka. Apabila tidak terwujud keselarasan,
maka dipercaya bencana atau musibah akan datang.
Dalam kepercayaan gaib suku Tengger,
ada yang dinamakan walat, yakni
bencana yang datang akibat dari seseorang yang tidak patuh terhadap aturan yang
ditetapkan sesuai dengan kearifan lokal yang mreka yakini atau melanggar
larangan dari Guru Sing Kuwasa.
Misalnya masyarakaat suku Tengger
dilarang mncuri, sampai saat ini tingkat kejahatan di wilayah Tengger hampir
menunjukkan angka nol. Hal ini selaras dengan kata Tengger yang dikatakan bahwa
bermakna tengering budi luhur atau
tanda keluhuran budi pekerti (Sutarto, 2001)
Ada suatu pernyataan di Tengger
yakni, memek dom siji mengko mbaleken
prekul artinya mengambil satu jarum mengembalikan satu kapak. Artinya, buah
kejahatan yang diperbuat imbasnya akan jauh lebih besar dibanding kejahatan
yang dilakukan., sehingga mengapa masyarakat suku Tengger sangat takut mencuri
atau berbuat jahat.
Guru kedua yang dipatuhi adalah Guru Wong Tuwa yakni kedua orang tua.
Orang tua adalah orang membesarkan dengan tulus. Suku Tengger sangat
menghormati orang tua, anak-anak dari kecil telah diajarkan untuk senantiasa
patuh.
Guru ketiga ditujukan kepada Guru Pemerintah yakni pemimpin negeri.
Suku Tengger berkeyakinan bahwa mereka adalah bagian dari negara, dan Guru
Pemerintah adalah pemimpinnya. Apabila patuh terhadap pemimpin negara, kana
mereka akan nyaman, selamat dan terlindungi. Di kawasan Tengger belum pernah
dijumpai aksi demonstrasi menentang kebijakan yang diputuskan pemerintah. Ketaatan
mereka juga terwujud dalam membayar pajak, sampai-sampai bukan petugas yang
mendatangi warga tapi warga yang mendatangi petugas.
Guru keempat yang dipatuhi suku
Tengger ialah Guru Ngaji atau Guru Pasinaon. Guru Ngaji bagi suku
Tengger adalah dukun Tengger yang menguasai ilmu agama dan tradisi luhur,
sedangkan Guru Pasinaon adalah guru yang menguasai ilmu pengetahuan, membaca,
menulis dan berhitung.
Suku Tengger meskipun mayoritas
beragama hindu, tetapi mereka sangat menghormati orang atau tamu yag berkunjung
ke rumah mereka. Pelayanan terhadap tamu sangat baik. Bahkan sajian makanan
yang mereka berikan kepada tamu terkadang lebih baik daripada yang mereka makan
dan minum sehari-hari. Mereka sangat bahagia apabila ada tamu yang mau
berbincang-bincang dan makan di dapur sambil duduk di dekat perapian, hal ini
menunjukkan rasa kekeluargaan suku Tengger yang tinggi. Sambutan hangat
walaupun berbeda suku, agama dan budaya merupakan cerminan pribadi yang luhur.
Sinisme dan antipati terhadap agama dan budaya lain tidak ditemui pada
masyarakat suku Tengger.
Kearifan lokal lain dari suku
Tengger adalah ajaran Welas Asih Pepitu (Tujuh
Ajaran Cinta Kasih) yakni cinta kepada: 1)Hong
Pukulun atau Kang Maha Agung
(Tuhan Yang Maha Esa), 2)Ibu Pertiwi
(Tanah Air), 3)Bapa-biyung
(Ayah-ibu), 4)Jiwa-raga
(Jasmani-rohani), 5)Sapadha-padhane
(Sesama), 6)Sato Kewan (Binatang
Peliharaan), 7)Tandur Tuwuh (Tanaman).
Dan kearifan-kearifan lokal di suku Tengger yang masih banyak lagi.
Penutup
Kearifan-kearifan lokal yang terdapat
di suku Tengger membuat mereka bisa hidup berdampingan secara rukun dengan
masyarakat lain di sekitar wilayah mereka. Kearifan lokal yang ada menjaga suku
Tengger dalam berperilaku dan berinteraksi dengan sesame manusia tanpa
membedakan suku, agama dan budaya. Cerminan inilah yang patut dicontoh oleh
masyarakat Indonesia, ditengah isu primordialisme dan etnosentrisme, suku
Tengger dapat dijadikan panutan bahwa meskipun mereka memiliki ajaran tradisi
yang dijunjung tinggi dan dipatuhi hingga kini, namun mereka tetap rendah hati.
Saling hormat dan menghormati dengan masyarakat lain.
Kearifan lokal dalam kehidupan suku
Tengger dapat menjadi rujukan kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk. Setiap
sikap memberikan ajaran luhur, dan dapat berfungsi sebagai tameng untuk
menangkal budaya-budaya yang tidak sesuai dengan Indonesia akibat proses
globalisasi dan westernisasi.
Daftar Pustaka
___________. 2006. Saya
Orang Tengger, Saya Punya Agama. Jember: Kompyawisda bekerjasama dengan
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu
Widyaprakoso, Simanhadi. 1994. Masyarakat Tengger Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
___________. 2003. “Perempuan Tengger Sosok yang Setia pada
Tradisi”. Bende Media Informasi Seni dan Budaya. Surabaya: Pemerintah
Propinsi Jawa Timur Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Taman Budaya.
0 komentar