Ini surat saya yang menjadi juara nasional, juara 1 Lomba Menulis Surat Untuk Presiden dan Wakil Presiden Indonesia tahun 2009-2012 Kategori Pelajar dan Mahasiswa
YTH. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
YTH. Wakil Presiden RI Boediono
Assalamualaikum Wr.Wb
Salam hangat beribu hormat,
Merdeka ¦ merdeka ¦ merdeka
Bapak Presiden dan Wakil Presiden RI yang terhormat,
melalui surat yang sederhana ini, saya ingin menuangkan semua gagasan
dan harapan saya kepada pemimpin teratas RI yang secara langsung dipilih
oleh bangsa Indonesia. Saya sebenarnya merasa kerdil untuk mengirimkan
surat ini, saya hanya seorang pelajar SMP di sebuah kota kecil, namun
kobaran semangat terus memompa diri saya untuk meluapkan semua harapan
dan gagasan saya kepada Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, agar
dibaca, dan semoga bila bermanfaat bisa diterapkan dalam masa
pemerintahan dalam masa lima tahun ke depan, hanya itu doa saya.
Kiranya
Bapak Presiden dan Wakil Presiden mengetahui bagaimana wajah dunia
pendidikan kita saat ini. Ya terpuruk, penuh dengan ketidak adilan.
Sekolah elite makin berjaya, sekolah desa makin nelangsa, demikianlah
opini saya. Saya turut merasakan Sekolah elite makin berjaya , sekolah
desa makin nelangsa. Saya melihat teman-teman dikampung saya yang
sekolah di SMP desa kurang sekali perhatiannya. Berangkatnya siang
sekali, pakaiannya rata-rata sangat sederhana, dan tak sedikit juga yang
kusam karena warnanya yang tak lagi putih, melainkan kuning, sepatunya
banyak ventilasinya (sobek-sobek), buku juga seadanya, padahal SMP itu
adalah SMP negeri yang tentu saja berada di bawah kendali dan tanggung
jawab pemerintah. Jika sekolah, para murid buru-buru ingin segera
pulang, bukan untuk bermain, melainkan untuk membantu pekerjaan orang
tua mereka yang rata-rata buruh tani. Sekolah hanya mengandalkan satu
papan tulis hitam dan menggunakan kapur untuk alat tulisnya, tentu saja
sangat berdebu. Buku paket dan tulis yang dipakai pun seadanya, buku
bantuan dari pemerintah merupakan buku paling berharga bagi mereka.
Hal
itu berbeda sekali dengan sekolah saya yang berada di tengah kota yang
berjarak sekitar 14 km dari rumah. Seragam teman-teman saya semuanya
putih bersih, sepatunya hitam mengkilat, buku yang sudah dipinjami oleh
perpustakaan masih dirasa belum cukup bagi kami. Sehingga, harus mencari
buku lain yang bisa menjadi sumber pengetahuan lebih luas. Papan tulis
kami ada 2 berwarna putih dan menulisnya menggunakan spidol. Tiap kelas
ada TV dan VCD. Hal ini sangat jauh berbeda dengan SMP pedalaman yang
jaraknya dekat dengan rumah saya, cerita teman saya Jika kami akan
memutar video, harus ke kantor guru, TV-nya masih hitam putih.
Jika
kami pergi ke laboratorium komputer, setiap anak menempati satu meja
komputer Windows Vista. Kalau mereka, tiap komputer ber-pentium dua atau
yang terbaik Pentium tiga, itupun harus digunakan 4-5 orang anak, namun
mereka selalu bersyukur sudah diberi kesempatan menjamah tekhnologi.
Rasa syukur itu tak luntur.
SMP
saya semuanya serba wah, karnaval 17 Agustus mewah, gerak jalan juga
wajib juara, olimpiade tak ada kata kalah, lomba-lomba lain tak perlu
ditanya karena hasilnya selalu sempurna. Sedangkan SMP yang ada di desa,
apa yang mereka lakukan? Mereka juga ingin menjadi pemenang, tapi
bagaimana itu bisa tercapai kalau tak ada kucuran dana, wawasan masih
terbelakang, pengetahuan seadanya. Bagaiman mereka bisa maju kalau
keadaannya masih begini-begini saja? Bagaiamana mereka bisa menjadi
bangsa yang berprestasi kalau upayanya belum maksimal, dan kurang
memperhatikan para generasi penerus bangsa? Perlu saya ceritakan kembali
hal yang selalu menjadi motivator saya, yaitu peristiwa sejarah
munculnya golongan terpelajar, dan professional yang mengawali
pergerakan kebangsaan di Indonesia.
Saat
itu, Belanda mengeruk keuntungan melimpah dari tanah jajahan mereka,
Indonesia. Namun, mereka tidak peduli dengan nasib bangsa Indonesia.
Pada situasi seperti itu, muncul tulisan Van Deventer berjudul Een
Eerschuld (Hutang Kehormatan) pada majalah de Gids tahun 1899. Dalam
tulisannya Van Deventer mengecam kolonial Belanda, Belanda harus
membalas dengan memberi kesejahteraan bagi Indonesia. Sehingga Ratu
Belanda menanggapi kritikan tersebut dan menerapkan politik etis, antara
lain:
a.) Memperbaiki irigasi agar meningkatkan produksi pertanian. Namun, hasil pertanian dibawa lagi ke Belanda
b.) Menganjurkan
transmigrasi untuk mengurangi kepadatan penduduk pulau Jawa. Namun, di
tanah transmigrasi mereka dijadikan para pekerja dengan gaji sangat
murah
c.) Menyelenggarakan edukasi (pendidikan) bagi bangsa Indonesia.
Hal
yang ke-3 inilah yang sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Hal
nomor 1 dan 2 hasilnya diambil lagi oleh Belanda. Namun, apakah
pengetahuan bisa diambil lagi? Tidak mungkin. Hal tersebut menyadarkan
saya, bahwa betapa pentingnya pendidikan itu. Harta, Benda, Nyawa bisa
diambil, namun pengetahuan tidak dapat dicabut oleh apapun.
Harapan
saya sederhana, pendidikan di Indonesia bisa merata dalam segala hal,
mulai dari pelosok hingga ibukota. Berikan mereka pendidikan dan
pengetahuan yang sebaik-baiknya. Agar para generasi
penerus bangsa bisa maju seperti negara lain. Kalau pendidikan di
Indonesia berkualitas, kenapa harus pergi jauh-jauh sekolah di luar
negeri yang tentu menguras biaya tidak sedikit. Mari kita awali
kemerdekaan Indonesia yang ke-64 ini dengan mengisi cerita indah bagi
dunia pendidikan Indonesia.
Demikan surat dari saya, hal-hal yang kurang berkenan mohon dimaafkan.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jombang, 17 Agustus 2009