DUA SISI WAJAH INDONESIA
(INDONESIA DI BALIK LAYAR)
Dalam kejauhan mengejar kehidupan, terkadang terasa lemah langkah langkah kaki bertemu bertemu suka duka, pahit manis perjuangan mewarnai kehidupan menyembuhkan semangat yang kadang mengecil, namun hidup terlalu berharga untuk kita mengalah, jalani hidup sebaik mungkin.
Di tengah suasana yang mulai hilang gairahnya, berjalan seorang bapak berbadan kekar, dengan senyum yang menebar, berjalan di tengah ballroom dengan tegap menuju podium.
Riuh tepuk tangan membahana ketika beliau ini menyapa kami semua. Beliau adalah, Bapak H. Ahmad Malikan yang merupakan ketua veteran pembela kabupaten Jombang.
Di usia yang tak lagi dikata muda, masih terlihat gurat-gurat semangat yang membara dari raut muka beliau. Terbukti dari suaranya yang bergema lantang, tegas, antusias.
Acara terakhir di hari pertama LDK PLASMA yang bertajuk “Kisah Mereka” dikemas dengan gaya talkshow ala Kick Andy.
Awalnya, aku mengira bahwa Bapak Malikan mau promosi TNI, AKABRI, dsb pada peserta LDK, tapi dugaan itu salah. Walaupun pertama ngobrol masalah gaji TNI, AKABRI dan tunjangan-tunjangannya yang lain-lain itu, tapi lama-lama aku juga menikmati dan larut dalam talkshow kali ini.
Bapak Malikan, menceritakan sepenggal kisahnya ketika masih berjuang untuk membela Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangannya ketika berjuang merebut kota Dili di Timor-timor, perjuangannya ketika menggagalkan aksi pencurian di pertamina oleh mariner yang membuat beliau nyaris tertembak, dan perjuangan-perjuangan beliau yang lain yang masih belum sempat terkuak dalam forum.
Perjuangan-perjuangan yang luar biasa. Terbayangkan ketika aku di posisi Bapak Malikan, andai aku yang nyaris tertembak peluru, andai aku saat itu yang yang berhadapan dengan musuh, andai aku yang berkorban meninggalkan anak-isteriku untuk Indonesiaku, andai aku juga yang mati di medan perang saat itu…
Begitu dahsyatnya semangat kepahlawanan saat itu. Mungkinkah aku mau? Mungkinkah aku mampu? Mungkinkah aku terus maju apabila ada di posisi seperti itu? Mungkinkah aku takkan gentar dengan tembakan dai musuh? Mungkinkah nyaliku takkan ciut?
Aku mulai tersadar, selama aku hidup 16 tahun di Indonesia ini, aku belum berkontribusi apa-apa. Bisa dibayangkan 16 tahun, bila dihitung hari ada 5840, apalagi dihitung jam ada 140.160, 8.409.600 menit, 504.576.000 sekon. Dan selama 504.576.000 sekon aku hidup ber lantai dan beratapkan bumi pertiwi, aku belum pernah berbuat ‘sesuatu’ yang baik untuk negeriku. Ironis!
Nasihat-nasihat yang terselip dari kata-kata yang diucapkan Bapak Malikan, menggores dalam-dalam di kalbu. Gapai cita-citamu dulu, bukan gapai cintamu! Raih dan genggam ijazahmu, bukan raih dan genggam surat nikahmu. Subhanallah.
Ketika beliau bercerita pula tentang wajah pemuda Indonesia saat ini, ketika beliau mengungkapkan betapa ironisnya generasi muda kini, dan ketika beliau bercerita tentang bobroknya moralitas bangsa, aku kian malu. Betapa tidak, berapa persen remaja yang melakukan seks pra nikah? Berapa banyak remaja yang melakukan aborsi? Berapa banyak remaja yang merupakan konsumen narkoba? Miris kalau membaca hasil survey terakhir Komisi Perlindungan Anak (KPA) yang mengungkapkan bahwa 97% remaja di Indonesia pernah menonton maupun mengakses situs porno. 93% pernah berciuman, 62,7% pernah berhubungan badan, dan 21% remaja telah melakukan aborsi. Termasukkah kita dalam remaja di atas?
Saat itu juga aku terketuk untuk bertanya kepada Bapak Malikan, “Sebagai pejuang yang turut mebela kesatuan NKRI ini, bagaimana perasaan bapak ketika melihat kondisi generasi bangsa saat ini yang cenderung bersikap kebarat-baratan, pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, lifestyle, mainset, yang seakan-akan itu bukan lagi bangsa kita. Dan jangankan untuk ikut berperang membela NKRI, untuk upacara saja ogah-ogahan. Ini menandakan nasionalisme kita sudah makin pudar. Bagaimana tanggapan bapak?”
Kemudian Bapak Malikan menjawab, “Memang dasar-dasar pendidikan nasionalisme sudah kurang sekali di tanamkan dalam pelajaran di sekolah, sehingga karakter bangsa kita luntur. Jarang sekali ditanamkan penjabaran dan pengamalan dari butir-butir pancasila, padahal dasar Negara kita adalah pancasila. Harusnya di mulai dari diri sendiri. Saatnya berubah dari diri kita.”
“Lalu, apakah pendidikan wawasan kebangsaan, penanaman nasionalisme, dan sejarah nasional, perlu dimasukkan lagi pada KTSP? Saat ini memang ada pelajaran PKn, maupun sejarah nasional, tapi itu tidak cukup membantu Negara dalam pencapaian peningkatan nasionalisme di Indonesia.”
“Sekali lagi, semua memang sulit kalau tidak ada kesadaran dari masing-masing dirinya, sehingga semua pembelajaran itu harus dimulai dari diri sendiri. Akan sia-sia sistem pendidikan di Indonesia memprogramkan pendidikan wawasan kebangsaan, dll namun dari diri pemuda sendiri tidak ada keinginan untuk berubah. Inilah tugas kalian untuk merubah mainset generasi bangsa yang menjadi pilar bangsa ini suatu hari nanti.”.
Dua sisi wajah Indonesia.
Indonesia tempoe doeloe, yang memiliki pemuda-pemudi berkarakter luhur, berbudi mulia, tangguh, tangkas, berkemauan keras, hebat, berdidikasi, loyalitas, jujur, penuh antusias dan semangat, semua luar biasa.
Indonesia masa kini, era globalisasi, berpemuda-pemudi angkuh, aneh, bergaya ala barat dengan lifestyle yang bobrok, mental yang picik, nurani dan hati yang tumpul, egois, mengejar kepuasan dunia, dan tak pernah berpikir akan kemajuan bangsa.
Di balik layar Indonesia, terungkap sudah semuanya. Akankah hati kita masih tumpul untuk berjuang demi Indonesia? Jawaban ada dalam hati anda.
Adakah secuil harapan Indonesia yang bertumpu pada pundak anda? Hanya anda yang bisa menjawabnya.
Bangkitlah, berubahlah. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah kebaikan. Jalan itu masih terbentang, untuk kita kawan.
Dan, sebuah hidup menuntun kita ke arah yang lebih cerah. Bukan terpaku pada realita, dan pasrah terhadap apa yang ada. Arti hidup adalah kita yang benar-benar bersusah-susah untuk tetap hidup meski dalam selimut gelombang yang luar biasa, yang mampu menenggelamkan kita kapan saja, kapan saja yang dia mau.
Tuhan takkan mengubah nasib suatu kaum sebelum dia mau berusaha merubah nasibnya sendiri.
Bangunlah dikala fajar belum menampakkan diri. Maka kau akan menemukan keindahan perpaduan langit yang masih setengah gelap dengan semburat oranye sang Surya. Mengubah subuh menjadi pagi, membuat langit menjadi cerah. Dan inilah saatnya kamu bangkit, memulai aktivitas diri, dan jangan kamu berhenti, sampai Tuhan memerintahkan Izroil menjemput nyawamu. Jadilah yang luar biasa, mulailah ber-evolusi, jadikan cerahnya bumi sebagai semangatmu, takkan luntur, takkan timbul-tenggelam. Hampiri suksesmu!
Jombang, 3 November 2011
23:13 WIB