“Sekolah Elit Makin Berjaya, Sekolah Desa Makin Nelangsa”

by - Juni 14, 2012

Ini surat saya yang menjadi juara nasional, juara 1 Lomba Menulis Surat Untuk Presiden dan Wakil Presiden Indonesia tahun 2009-2012 Kategori Pelajar dan Mahasiswa

YTH.  Presiden  RI  Susilo  Bambang  Yudhoyono
            YTH.  Wakil  Presiden  RI  Boediono
            Assalamualaikum  Wr.Wb
            Salam  hangat  beribu  hormat,
Merdeka ¦ merdeka ¦ merdeka
            Bapak Presiden dan Wakil Presiden RI yang  terhormat, melalui surat yang sederhana ini, saya ingin menuangkan semua gagasan dan harapan saya kepada pemimpin teratas RI yang secara langsung dipilih oleh bangsa Indonesia. Saya sebenarnya merasa kerdil untuk mengirimkan surat ini, saya hanya seorang pelajar SMP di sebuah kota kecil, namun kobaran semangat terus memompa diri saya untuk meluapkan semua harapan dan gagasan saya kepada Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, agar dibaca, dan semoga bila bermanfaat bisa diterapkan dalam masa pemerintahan dalam masa lima tahun ke depan, hanya itu doa saya.
           
Kiranya Bapak Presiden dan Wakil Presiden mengetahui bagaimana wajah dunia pendidikan kita saat ini. Ya terpuruk, penuh dengan ketidak adilan. Sekolah elite makin berjaya, sekolah desa makin nelangsa, demikianlah opini saya. Saya turut merasakan Sekolah elite makin berjaya , sekolah desa makin nelangsa. Saya melihat teman-teman dikampung saya yang sekolah di SMP desa kurang sekali perhatiannya. Berangkatnya siang sekali, pakaiannya rata-rata sangat sederhana, dan tak sedikit juga yang kusam karena warnanya yang tak lagi putih, melainkan kuning, sepatunya banyak ventilasinya (sobek-sobek), buku juga seadanya, padahal SMP itu adalah SMP negeri yang tentu saja berada di bawah kendali dan tanggung jawab pemerintah. Jika sekolah, para murid buru-buru ingin segera pulang, bukan untuk bermain, melainkan untuk membantu pekerjaan orang tua mereka yang rata-rata buruh tani. Sekolah hanya mengandalkan satu papan tulis hitam dan menggunakan kapur untuk alat tulisnya, tentu saja sangat berdebu. Buku paket dan tulis yang dipakai pun seadanya, buku bantuan dari pemerintah merupakan buku paling berharga bagi mereka.
            Hal itu berbeda sekali dengan sekolah saya yang berada di tengah kota yang berjarak sekitar 14 km dari rumah. Seragam teman-teman saya semuanya putih bersih, sepatunya hitam mengkilat, buku yang sudah dipinjami oleh perpustakaan masih dirasa belum cukup bagi kami. Sehingga, harus mencari buku lain yang bisa menjadi sumber pengetahuan lebih luas. Papan tulis kami ada 2 berwarna putih dan menulisnya menggunakan spidol. Tiap kelas ada TV dan VCD. Hal ini sangat jauh berbeda dengan SMP pedalaman yang jaraknya dekat dengan rumah saya, cerita teman saya Jika kami akan memutar video, harus ke kantor guru, TV-nya masih hitam putih.
Jika kami pergi ke laboratorium komputer, setiap anak menempati satu meja komputer Windows Vista. Kalau mereka, tiap komputer ber-pentium dua atau yang terbaik Pentium tiga, itupun harus digunakan 4-5 orang anak, namun mereka selalu bersyukur sudah diberi kesempatan menjamah tekhnologi. Rasa syukur itu tak luntur.
            SMP saya semuanya serba wah, karnaval 17 Agustus mewah, gerak jalan juga wajib juara, olimpiade tak ada kata kalah, lomba-lomba lain tak perlu ditanya karena hasilnya selalu sempurna. Sedangkan SMP yang ada di desa, apa yang mereka lakukan? Mereka juga ingin menjadi pemenang, tapi bagaimana itu bisa tercapai kalau tak ada kucuran dana, wawasan masih terbelakang, pengetahuan seadanya. Bagaiman mereka bisa maju kalau keadaannya masih begini-begini saja? Bagaiamana mereka bisa menjadi bangsa yang berprestasi kalau upayanya belum maksimal, dan kurang memperhatikan para generasi penerus bangsa? Perlu saya ceritakan kembali hal yang selalu menjadi motivator saya, yaitu peristiwa sejarah munculnya golongan terpelajar, dan professional yang mengawali pergerakan kebangsaan di Indonesia.
            Saat itu, Belanda mengeruk keuntungan melimpah dari tanah jajahan mereka, Indonesia. Namun, mereka tidak peduli dengan nasib bangsa Indonesia. Pada situasi seperti itu, muncul tulisan Van Deventer berjudul Een Eerschuld (Hutang Kehormatan) pada majalah de Gids tahun 1899. Dalam tulisannya Van Deventer mengecam kolonial Belanda, Belanda harus membalas dengan memberi kesejahteraan bagi Indonesia. Sehingga Ratu Belanda menanggapi kritikan tersebut dan menerapkan politik etis, antara lain:
a.)      Memperbaiki irigasi agar meningkatkan produksi pertanian. Namun, hasil pertanian dibawa lagi ke Belanda
b.)      Menganjurkan transmigrasi untuk mengurangi kepadatan penduduk pulau Jawa. Namun, di tanah transmigrasi mereka dijadikan para pekerja dengan gaji sangat murah
c.)      Menyelenggarakan edukasi (pendidikan) bagi bangsa Indonesia.
Hal yang ke-3 inilah yang sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Hal nomor 1 dan 2 hasilnya diambil lagi oleh Belanda. Namun, apakah pengetahuan bisa diambil lagi? Tidak mungkin. Hal tersebut menyadarkan saya, bahwa betapa pentingnya pendidikan itu. Harta, Benda, Nyawa bisa diambil, namun pengetahuan tidak dapat dicabut oleh apapun.
Harapan saya sederhana, pendidikan di Indonesia bisa merata dalam segala hal, mulai dari pelosok hingga ibukota. Berikan mereka pendidikan dan pengetahuan yang sebaik-baiknya.  Agar para generasi penerus bangsa bisa maju seperti negara lain. Kalau pendidikan di Indonesia berkualitas, kenapa harus pergi jauh-jauh sekolah di luar negeri yang tentu menguras biaya tidak sedikit. Mari kita awali kemerdekaan Indonesia yang ke-64 ini dengan mengisi cerita indah bagi dunia pendidikan Indonesia.
Demikan surat dari saya, hal-hal yang kurang berkenan mohon dimaafkan.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jombang, 17 Agustus 2009


You May Also Like

0 komentar